
“Siapa yang menyuruhmu melakukan hal itu? Nikmati saja kesalahanmu.”
Ucapanku berhasil membuat gadis dihadapanku tersentak. Matanya terbelalak, menciptakan sebuah kerutan di dahinya, kemarahan seolah tersirat hanya melalui matanya.
Dia mendengus, “Kamu tidak punya perasaan ya? Selama ini aku selalu berada di sisimu dan mendengarkanmu!”
“Aku tidak pernah memintamu melakukannya.” Tatapanku lurus, tepat kearahnya.
Wajahnya mulai memerah akibat kemarahan nya yang memancar. “Kamu pikir dirimu hebat? Kamu pikir kamu yang paling cerdas?”
“Aku tidak pernah—
Sebelum aku bisa mengucapkan kata selanjutnya, dia sudah terlanjur pergi dan meninggalkanku disana.
Hatiku terasa berat, apa yang kulakukan salah? Namun, aku tidak berbohong. Begitulah manusia, mereka adalah makhluk yang membiarkan perasaan dan emosi menguasai diri mereka.
Aku? Aku termasuk kedalamnya, hanya saja.. aku tidak pernah mengerti.
Aku, sama halnya seperti manusia kebanyakan, aku pun egois.
Namun, aku tak pernah akan mengerti.
Lebih baik aku hidup dengan membosankan dan repetitif dibandingkan harus mengambil resiko untuk mempertahankan yang sementara.
Selama aku hidup, kehidupan sangat klise. Itu benar, dan aku tak akan mengeluh.
“Tolong!”
Dari kejauhan, terlihat seseorang yang sedang di rampok. Ia terlihat panik dan gelisah.
Aku berdiri terdiam, berada diseberang ketika perampok itu melewatiku.
Ketika seseorang meminta tolong, haruskah aku mengambil resiko dan menolongnya?
Tidak, aku tidak perlu bertindak seolah pahlawan. Aku tak berhak, aku juga seorang perempuan. Aku pasti akan memiliki resiko tinggi untuk dilukai jika aku ikut campur.
“Berhenti!”
Sesaat ketika aku hendak membalikkan badanku seseorang menabrak ku hingga terpeleset dan terjatuh kedalam selokan yang kotor.
Sial, mau bagaimana lagi?
Aku berusaha berdiri dari sana, mengambil tasku yang kini terkena air kotor, serta memeras rokku yang kini basah oleh air kotor juga.
“Maaf, kamu tidak apa apa?”
Sesaat aku menengadahkan kepalaku, sebuah tangan terjulur ke arahku dengan senyum tulus dan ekspresi wajah yang canggung.
Tak lama, aku menerima ukuran tangannya dan berdiri dari sana.
“Maafkan temanku, dia tak berhati hati dan malah menabrak mu hingga terjatuh ke.. selokan.”
“Tidak apa apa.”
Ia membungkukkan tubuhnya lalu ikut mengejar temannya yang kini tampak berhasil menangkap perampok itu.
“Aku tak mungkin bisa melakukan itu.” Aku menatap langit cerah yang seolah bersinar berkat terselamatkan nya seorang wanita paruh baya yang dirampok tadi.
“Biarlah yang terjadi.”
Begitulah manusia, mereka adalah makhluk yang membiarkan perasaan dan emosi menguasai diri mereka.
Mereka selalu bertindak melalui emosi mereka.
“Empati,”
Ah, benar.
“Rasa yang muncul ketika melihat seseorang yang kesulitan, dan keinginan untuk meringankan kesulitan tersebut.”
Selama ini, Aku hanya kosong disana.
Apakah aku salah jika aku tak memiliki hal yang dinamakan ‘empati’ itu?
“Kamu egois.”
Itu benar, aku tak akan menyangkalnya.
“Kamu hanya mementingkan dirimu sendiri, kau bahkan tak peduli dengan kami. Apa artinya kami bagimu? Bukannya kita teman?”
Aku tak tahu aku harus bereaksi atau berkata seperti apa.
“Aku tak pernah menganggap apapun, kita hanya orang asing. Untuk apa aku peduli?”
Ah, tentu saja. Itu yang aku jawab saat itu, ya.
Aku masih mengingat tatapan kebencian dan raut tak percaya yang di tujukkan kepadaku.
“Kamu tak memiliki perasaan, kamu dingin. Apakah kami, seluruh makhluk hidup disini kau anggap sebagai angin bersuara? Kamu hanya takut, bukan?”
Untuk apa aku takut? Aku tak mengerti.
“Apa yang kamu maksud—
“Bahwa kamu pengecut. Kamu takut semuanya akan hancur jika kamu berteman atau memiliki hubungan. Kamu tak peduli dengan sekitar dan hanya peduli dengan diri sendiri. Bagaimana bisa kau hidup tanpa dihantui rasa bersalah dan kepedulian seperti nya telah memudar dan hilang didalam hatimu.”
Baiklah, itu cukup tajam. Aku mengetahui bahwa aku orang yang brengsek.
“Dengar baik baik, kamu hanya akan hidup sendirian selamanya dan begitupula jika kamu mati. Pemakaman mu hanya akan di isi oleh tanah kering dan semut yang bergerombol.”
Itu menyakitkan, dan aku sadar akan hal itu.
“Apakah kamu tau kamu itu apa? Gadis yang tak memiliki rasa empati dan egois.”
Cukup, aku mengerti. Aku tau. Aku tak pernah menganggap semua hal penting kecuali diriku, aku egois. Aku tak memiliki rasa empati. Aku tak pernah memikirkan orang lain.
Apakah salah jika aku tak ingin terlibat dengan orang lain?
Salah kah jika aku takut aku akan mengacaukan segala hal jika aku terlibat hubungan dengan orang lain? Itu benar, aku seorang pengecut.
Mereka semua benar, dan aku takut mengakui itu. Aku berlindung dibalik kata ‘tidak mengerti’. Aku hanya tidak ingin mengerti.
Padahal semua sudah sejelas ini, aku selalu menyangkal semua hal yang menuju diriku.
Maaf,
Semuanya maaf, aku.. sungguh seseorang yang buruk.
“Kamu.. sudah sadar?”
Sesaat mendengar suara lembut bercampur panik itu terdengar, air mataku membendung dan akhirnya menetes.
Tubuhku terbaring diatas kasur dan detak jam begitu terasa, mengisi ruangan ini.
Ia menangkup pipiku lembut, menyelipkan rambutku kebelakang telingaku. “…Syukurlah.”
Aku tak percaya, mengapa kamu ada disini? Aku hanya seorang yang akan mengacau dan egois, ikutlah yang lain dan tinggalkan aku.
“Kenapa.. kenapa kau ada disini?”
“Hal yang terpenting adalah kamu sudah sadar.. dan itu sudah sangat cukup bagiku.”
Aku hanya dapat terdiam, bibirku terkatup rapat. Apakah kau sadar bahwa apa yang kau lakukan ini berpotensi berakhir sia sia?
Aku takut.
Mereka benar, aku takut.
Apakah.. apa yang kau berikan secara cuma cuma ini kepadaku.. akan bertahan? Aku ingin percaya. Sangat.
Aku paham betul, tidak ada yang abadi. Begitu pula aku, kau, mereka.. makhluk hidup.
Apa.. kau juga akan meninggalkan ku sama seperti apa yang ia lakukan? Apa kau juga akan menelantarkan ku? Mempermalukan ku setelah mengetahui diriku yang sesungguhnya dibalik topeng konkret ini?
Ia menghela nafas, “Aku hanya ingin bersyukur, kamu dapat bernafas dengan stabil saja.. rasanya aku sudah sangat bahagia.”
Mataku sontak terbelalak, berkedut. Lidahku terasa kelu, aku hendak berteriak. Menolak kebaikannya, mendorongnya menjauh dari ku. Namun, tak sepatah katapun yang lolos dari mulut ku.
Air mataku berlinang, bibirku gemetar ketika mendengar kata demi kata yang ia keluarkan dari bibirnya. Lantas, aku tak kuasa menahan air mata yang kembali mengalir deras.
Ia mengulurkan lengannya kepadaku,
..sama seperti pertama kali dia mengulurkan bantuannya padaku. Kehangatan nya tidak pernah berubah, ketulusan nya tak pernah pudar.
Begitulah manusia, mereka adalah makhluk yang membiarkan perasaan dan emosi menguasai diri mereka.
Dan, kini.. aku akhirnya membuka mataku, kali ini.
Kali ini, aku akan memahami. Belajar bahwa.. tidak apa apa untuk membiarkan perasaan dan emosimu untuk keluar.