
Di pedalaman Kalimantan yang dikelilingi hutan tropis, hidup seorang perempuan bernama Nyai Balau. Dalam bahasa Dayak, “balau” berarti rambut panjang, sebuah nama yang diberikan karena keindahan rambutnya yang hitam berkilau. Namun, bukan hanya karena kecantikannya Nyai Balau dikenal luas. Ia dihormati karena kebaikan hati, kecerdasan, dan keberaniannya. Ia selalu membantu orang lain, mendamaikan konflik, dan memberikan nasihat bijak kepada masyarakat di desanya.
Masyarakat Dayak saat itu hidup damai, mengandalkan hasil hutan dan ladang. Tetapi, suatu hari, tragedi datang tanpa diduga. Anak laki-laki Nyai Balau yang masih remaja ditemukan tewas di tepi sungai. Penduduk desa mengatakan bahwa pelakunya adalah Antang, seorang pria sombong dan kejam dari wilayah Juking Sopang. Antang dikenal sebagai penguasa wilayah yang sering menggunakan kekuatannya untuk menindas orang lain.
Nyai Balau sangat terpukul. Anaknya adalah satu-satunya keturunannya, dan kehilangannya membuat hatinya hancur. Namun, ia tidak ingin larut dalam kesedihan. Dengan hati yang penuh tekad, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menuntut keadilan atas kematian anaknya.
Dalam usahanya, Nyai Balau memutuskan untuk bertapa. Ia mendatangi hutan yang dianggap sakral oleh masyarakat Dayak, tempat yang diyakini sebagai rumah bagi makhluk gaib penjaga alam. Selama tujuh hari tujuh malam, Nyai Balau bermeditasi di bawah pohon besar, memohon petunjuk dari leluhur dan Tuhan Penguasa Alam. Dalam meditasi itu, ia mendapatkan penglihatan tentang seorang nenek tua berjubah putih.
Nenek itu berkata, “Kehilanganmu adalah ujian yang besar, Nyai Balau. Tapi jika kamu memiliki hati yang tulus dan keberanian untuk bertindak, aku akan membantumu. Gunakan kekuatan ini dengan bijak dan untuk tujuan yang benar.”
Setelah berkata demikian, nenek itu memberikan selendang sakti. Selendang itu tidak hanya menjadi senjata, tetapi juga pelindung bagi Nyai Balau dalam menghadapi bahaya. Ketika Nyai Balau membuka matanya, ia merasa tubuhnya dipenuhi kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dengan kesaktian barunya, Nyai Balau memutuskan untuk menghadapi Antang. Ia mengajak suaminya dan beberapa prajurit desa untuk pergi ke wilayah Juking Sopang. Perjalanan itu tidak mudah. Mereka harus melewati hutan lebat, sungai yang deras, dan jalan berbatu. Tapi Nyai Balau tetap melangkah dengan percaya diri.
Ketika mereka tiba di Juking Sopang, Antang menyambut mereka dengan tawa mengejek. “Apa yang kamu lakukan di sini, perempuan?” tanyanya dengan nada meremehkan. “Kamu pikir bisa melawan aku?”
Nyai Balau tidak terpancing oleh hinaan Antang. Dengan tenang, ia berkata, “Aku datang untuk meminta keadilan atas kematian anakku. Jika kamu mengakui kesalahanmu dan meminta maaf, aku tidak akan melanjutkan masalah ini.”
Namun, Antang yang sombong menolak. Ia malah mengangkat senjatanya dan menyerang Nyai Balau. Tapi kali ini, Nyai Balau bukan perempuan biasa. Dengan gesit, ia menghindari setiap serangan. Ketika Antang lengah, ia mengayunkan selendang saktinya ke arah dada Antang. Seketika, Antang terjatuh ke tanah, terkejut oleh kekuatan Nyai Balau.
Nyai Balau memberi kesempatan terakhir. “Hentikan kebodohan ini dan bertanggung jawablah atas perbuatanmu. Jangan membuat rakyatmu menderita karena kesombonganmu.”
Tapi Antang tidak belajar. Ia kembali menyerang dengan amarah yang lebih besar. Kali ini, Nyai Balau tidak punya pilihan selain menggunakan kekuatan penuh. Dengan satu ayunan selendangnya, Antang tumbang untuk selamanya.
Setelah kejadian itu, Nyai Balau tidak menyombongkan kemenangannya. Ia mengajak masyarakat Juking Sopang untuk hidup damai dan memperbaiki kesalahan Antang. Desa itu kemudian menjadi tempat yang lebih baik di bawah pengaruh bijak Nyai Balau.
Nyai Balau kembali ke desanya dengan hati lega. Ia tidak hanya mendapatkan keadilan, tetapi juga membuktikan bahwa keberanian dan ketulusan hati dapat mengubah dunia. Kisahnya menyebar ke seluruh Kalimantan dan dikenang sebagai simbol keberanian, keadilan, dan rendah hati.
Pesan Moral:
Kisah Nyai Balau mengajarkan bahwa keberanian untuk melawan ketidakadilan adalah hal mulia, tetapi kekuatan harus digunakan dengan bijaksana. Selain itu, sifat rendah hati dan kebijaksanaan adalah nilai yang akan selalu dihormati oleh masyarakat. 🌟