
Langit sore sudah berubah kelabu saat aku berdiri di depan rumah tua itu. Angin dingin berhembus, membawa bau tanah basah dan kayu lapuk. Tidak ada yang memaksaku untuk masuk, hanya rasa penasaran yang mendesak. Teman-temanku sudah memperingatkan bahwa rumah ini membawa sial, tapi bukankah rasa takut kadang hanya ilusi? Atau itulah yang kupikirkan saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalamnya.
Pintu kayu tua berderit keras ketika kubuka, seolah menyambutku dengan rintihan. Begitu aku melangkah masuk, suasana berubah. Seperti ada sesuatu yang mencekikku perlahan-lahan—tak ada suara, tak ada angin, hanya kesunyian tebal yang menusuk. Aku mengeluarkan ponsel, berniat memberi kabar pada temanku. Tapi… tidak ada sinyal, dan anehnya, notifikasi pesan sebelumnya hilang begitu saja. Aku mulai merasa ada yang tak beres, tapi aku terlalu dalam untuk mundur.
Aku berjalan menyusuri lorong sempit, tapak kaki terdengar bergetar di lantai kayu. Sekilas, aku merasa ada bayangan bergerak di sudut mataku, tapi saat kutengok, hanya ada dinding lembap dan langit-langit berjamur. Waktu seolah berhenti di sini—aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di dalam.
Lalu, aku menemukan sebuah kamar di ujung lorong. Seperti didorong rasa ingin tahu yang tak masuk akal, aku membuka pintu kamar itu. Bau lembap menyeruak, mencampur dengan udara dingin. Di dalamnya, hanya ada satu kursi kayu dan sebuah cermin antik tinggi di sudut ruangan.
Aku melangkah mendekat ke cermin itu. Ada sesuatu yang membuatku terpaku. Saat bayanganku muncul di permukaan kaca, aku merasa… aneh. Bukan hanya refleksi biasa. Kulitku meremang ketika menyadari sesuatu: bayangan itu tidak sepenuhnya mengikuti gerakanku.
Aku mengusap cermin dengan jari—dingin, seperti es yang merambat ke kulitku. Dan saat aku menatap lebih dalam, hawa dingin menyergap dari belakangku. Aku berbalik cepat—kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Dengan napas tertahan, aku kembali menatap ke cermin. Bayanganku berubah. Sosok itu bukan aku lagi. Rambutnya kusut, wajahnya retak seperti boneka porselen pecah, dengan mata kelam dan senyum bengkok. Bajunya robek, basah oleh darah. Sebelum aku bisa menjerit, sosok itu menyeringai, seakan tahu ketakutan yang membekukan tubuhku.
Aku panik. Aku berlari ke arah pintu kamar, berharap pintu tidak terkunci. Saat kutarik gagangnya, pintu itu terbuka begitu saja, seakan mengejek kepanikanku. Tanpa pikir panjang, aku berlari keluar, menyusuri lorong yang semakin terasa memanjang, seperti tak berujung.
Di depan sana, pintu besar muncul. Seperti pintu menuju kebebasan. Dengan seluruh tenaga, aku berlari dan membuka pintu itu. Cahaya sore menyilaukan mataku, dan aku melihat beberapa orang berdiri di luar—termasuk temanku. Mereka memandangku dengan cemas.
“Astaga! Kau dari mana saja? Aku menelepon berkali-kali, tapi kau tak pernah menjawab!” seru temanku.
Aku mengerutkan dahi. “Aku tidak menerima panggilan apa pun. Bahkan aku sudah mencoba menghubungimu.”
Temanku menatapku dengan bingung. “Tidak mungkin, aku melihat pesan-pesanku terkirim.”
Sementara itu, seorang warga sekitar mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. “Rumah tua itu memang jahat. Banyak yang bilang, pikiranmu bisa dimainkan di sana. Kalau kau percaya kau tidak bisa keluar, kau benar-benar akan terjebak.”
Kata-kata itu terasa seperti pukulan di kepalaku. Benar. Di dalam rumah itu, aku merasa putus asa, seolah-olah tidak akan pernah bisa keluar. Tapi begitu aku memaksakan diriku percaya bahwa aku bisa keluar, pintu itu tiba-tiba terbuka.
Aku menghela napas, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
“Rumah itu bukan sekadar tempat,” kataku perlahan. “Itu perangkap bagi pikiran. Ketika kau mulai percaya kau terjebak, kau benar-benar tersesat.”
Seorang anak kecil yang berdiri di dekatku menyahut polos, “Makanya kita harus selalu berpikir positif, ya? Kalau nggak, kita nggak akan pernah keluar dari hal-hal yang bikin kita takut.”
Aku tersenyum tipis. Ada benarnya. Pikiran adalah senjata, baik atau buruknya tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Aku menatap rumah tua itu sekali lagi, dan di sudut pikiranku, sebuah pertanyaan muncul: Apakah aku benar-benar sudah keluar?
Ponselku tiba-tiba bergetar di tanganku—pesan dari temanku, seolah baru saja masuk. Namun, saat kulihat layar ponsel, sekilas bayangan wajah retak yang kulihat di cermin tadi muncul di sudut layar, tersenyum samar sebelum menghilang.
Selesai