
Naya memandangi rapornya dengan wajah kusut. Angka-angka di sana terasa seperti cap merah besar yang mengejeknya. Matematika: 62. IPS: 64. Bahasa Indonesia? Hanya 70, satu-satunya nilai yang sedikit lebih tinggi, dan itu pun hasil tugas kelompok.
“Mama pasti kecewa,” gumamnya sambil melempar rapor ke meja. Ia merebahkan diri di kasur, menarik selimut hingga menutupi kepala. Pikirannya penuh bayangan wajah gurunya yang berkata, “Kamu harus lebih giat belajar, Naya. Masa depanmu bergantung pada nilai-nilai ini.”
“Kenapa hidup harus bergantung pada angka-angka?” gumamnya sebelum akhirnya tertidur dengan perasaan berat.
***
Di tengah tidur lelapnya, Naya mendengar suara berisik di sekitar. Ia membuka mata, tak disangka bukan kamarnya lagi yang terlihat. Melainkan dunia asing terbentang di hadapannya. Langit biru dihiasi awan berbentuk angka 0 hingga 100 yang bergerak pelan. Di kejauhan, ada sebuah bukit dengan angka 100 berdiri kokoh di puncaknya. Di bawah bukit, angka-angka kecil seperti 57, 62 dan 64 sibuk saling membantu.
“Selamat datang di Dunia Angka!” Sebuah suara ceria mengagetkannya.
Naya berbalik dan melihat makhluk aneh berbentuk rapor besar, dengan kaki kecil dan mata yang bersinar. “Aku Rapi, penjaga dunia ini. Kau datang ke sini karena terlalu khawatir dengan angka-angka itu, bukan?”
“Emm… mungkin,” gumam Naya bingung. “Apa ini mimpi?”
“Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi pesan dari sini nyata. Aku akan menunjukkan apa yang bisa kau pelajari dari dunia ini,” kata Rapi sambil melambai ke arah awan berbentuk angka.
***
Rapi mengajak Naya berjalan ke Desa Nilai Rendah. Di sana, angka-angka kecil seperti 57, 64, dan 65 sibuk bekerja sama. Angka 64 memanjat pohon untuk memetik buah, angka 57 menyusun batu untuk membangun jembatan, dan angka 65 membantu menarik kereta barang.
“Kenapa mereka semua terlihat sibuk?” tanya Naya.
“Mereka tahu tugas mereka kecil, tapi tetap berarti,” jawab Rapi. “Lihat angka 64 itu. Ia tahu nilainya kecil, tapi tanpa keberadaannya, keseimbangan sistem akan terganggu. Semua nilai, besar atau kecil, punya peran.”
Naya mendekati angka 57 yang sedang membangun jembatan. “Apa kamu tidak merasa sedih karena kamu kecil?” tanyanya.
Angka 57 tersenyum. “Tentu tidak. Aku kecil, tapi aku adalah dasar untuk mencapai nilai yang lebih tinggi. Semua angka besar berasal dari angka kecil sepertiku.”
***
Perjalanan berlanjut ke Sungai Perjuangan. Di sana, angka-angka menengah seperti 70 dan 75 sedang mencoba menyeberang, tetapi arus sungai terlalu deras. Naya melihat angka 68 yang kecil tetapi dengan gigih mendorong rakit kayu melawan arus.
“Lihat, Naya. Ini Sungai Perjuangan. Setiap angka, sekecil apa pun, harus melawan arus sebelum mencapai tujuannya,” kata Rapi.
Angka 68 berhasil mencapai seberang, meskipun tubuhnya terlihat lelah. Ia tersenyum pada Naya. “Aku tahu aku tidak besar, tapi aku berusaha sebaik yang aku bisa. Itu sudah cukup bagiku.”
Namun, di sisi lain, Naya melihat angka 95 yang tampak aneh. Ia berdiri di tengah rakit, tetapi tidak bergerak sama sekali. Rakit itu hanyut perlahan, mengikuti arus tanpa usaha apa pun.
Naya mendekat penasaran. “Kenapa kamu tidak bergerak?”
Angka 95 menoleh, tersenyum tipis. “Aku tak perlu bergerak. Aku mendapatkan semua ini tanpa usaha. Nilai tinggiku hanya dari menyontek saat ujian.”
Naya tertegun. “Bukankah itu berarti kamu tidak benar-benar pantas menjadi angka 95?”
Angka 95 menghela napas. “Benar. Aku terlihat hebat, tapi di dalam, aku kosong. Tidak ada pelajaran yang aku bawa. Aku hanya angka tanpa makna.”
Rapi menepuk pundak Naya. “Itulah mengapa perjuangan itu penting, Naya. Nilai besar tanpa usaha tidak memiliki arti. Sebaliknya, nilai kecil dengan perjuangan memiliki pelajaran yang akan terus kau bawa sepanjang hidup.”
***
Setelahnya, Rapi membawa Naya ke Bukit Keberhasilan. Di puncaknya, angka-angka besar seperti 90, 95, dan 100 berdiri megah. Namun, tidak semua dari mereka bahagia.
“Lihat angka-angka itu,” kata Rapi.
Naya melihat angka 100 yang duduk sendirian, wajahnya murung. Ia mendekat dan bertanya, “Apa kamu tidak bahagia menjadi angka 100?”
Angka itu mengangkat bahu. “Aku mencapainya dengan usaha keras, tapi aku lupa menikmati prosesnya. Sekarang, aku merasa lelah dan kosong.”
Naya mulai mengerti. Ia menyadari bahwa angka-angka bukanlah tujuan, melainkan teman perjalanan. Nilai kecil mengajarkan perjuangan, sementara nilai besar seharusnya membawa kebahagiaan—bukan tekanan.
***
Ketika Naya membuka kembali matanya, ia menemukan dirinya terbangun di kamar. Matahari pagi menembus tirai, menyinari meja tempat rapornya tergeletak. Suara burung berkicau terdengar dari luar, menandakan pagi yang tenang di awal liburan semester.
Ia duduk di tepi kasur, mengusap wajahnya, lalu memandangi rapor itu. Kali ini, angka-angka di sana tidak lagi tampak seperti musuh.
“Angka ini bukan musuhku,” gumamnya. “Mereka hanyalah penunjuk arah. Bukan tujuan akhirnya.”
Naya mengambil rapornya, lalu tersenyum kecil. Ia teringat percakapan dengan angka-angka kecil yang bangga dengan kontribusi mereka, serta angka 95 yang mengaku kosong karena hasil curang.
“Percuma mendapat angka tinggi kalau aku tidak belajar apa-apa. Tidak ada gunanya punya rapor sempurna tapi kehilangan kejujuran dan arti perjuangan.”
Suara lembut Rapi terngiang dalam benaknya, “Ingat, Naya, nilai hanyalah cermin. Yang penting adalah bagaimana kau belajar, bagaimana kau tumbuh, dan bagaimana kau membawa nilai itu ke dalam kehidupanmu. Setiap perjuangan, sekecil apa pun, akan membentukmu menjadi lebih baik.”
Naya bangkit, menyimpan rapor itu di laci, dan menarik napas panjang. “Ini awal liburan. Aku mungkin belum sempurna, tapi aku akan memanfaatkan waktu ini untuk belajar lebih jujur dan menikmati setiap prosesnya.”
Di luar, suara anak-anak terdengar riang bermain. Naya membuka jendela, membiarkan angin segar masuk, sambil membisikkan pesan pada dirinya sendiri, “Angka tidak bisa menentukan siapa aku. Aku lah yang menentukan nilainya dalam hidupku.”
Dengan semangat baru, Naya melangkah keluar kamar, menyambut pagi pertama di liburan semesternya yang kini terasa berbeda.
—gema171224